ABOUT US
hello we'are : SAKITKUNINGCOLLECTIVO. Berdiri sejak 2006, sebagai kelompok alternative/artist collective non profit, Mengakomodir kerjasama secara kolektif ide-ide creatif dibidang visual art attack + performing art , atau kegiatan anak muda lainya secara kolektif (artist collective).WHAt WE DO
VISUAL ART ATTACK :video,foto,visual jockey,street artCONTACT US
sakitkuningcollectivo@gmail.comDARLINKS
anginsegarRUMOURS
LOOKBACK
Oktober 2004 Oktober 2007 November 2007 Desember 2007 Januari 2008 Februari 2008 Maret 2008 April 2008 Mei 2008 Juni 2008 Juli 2008 Agustus 2008 September 2008 Oktober 2008 November 2008 Desember 2008 Januari 2009 Februari 2009 Maret 2009 April 2009 Mei 2009 Juni 2009 Juli 2009 Agustus 2009 September 2009 Oktober 2009 November 2009 Desember 2009 Januari 2010 Desember 2010 Februari 2011ROCKINGFLYERS
designer
Melindungi dan Melayani Siapa?
KOMPAS
Minggu, 21 September 2008
Dalam dunia seni rupa, istilah ”underground” sering dilekatkan pada aktivitas Situationist International, kelompok seni rupa perlawanan politik dan artistik di Eropa tahun 1957-1972 yang mengakar pada paham Marxisme dan Lettrisme. Kelompok ini mengembangkan seni rupa sendiri dengan menentang segala hal yang mainstream, bergerak di bawah tanah, radikal, dan ideologis.
Di Indonesia, istilah ”underground” tak pernah lekat secara utuh pada praktik seni rupa. Masalahnya, sebagian perupa di sini masih ingin tampil, termasuk melalui ruang pameran umum, seperti galeri. Sebutan ”alternatif” dianggap lebih pas karena memang mereka mengajukan tawaran gagasan, bentuk, dan presentasi yang menyempal dari arus seni rupa umum.
Sejak kapan semangat itu tumbuh? Secara pribadi, perupa Moelyono telah bergerilya menggalang aktivitas seni rakyat dari desa ke desa tahun 1980-an—dan kerap disebut sebagai gerakan ”penyadaran”. Namun, kemunculan seni alternatif secara terang dan melibatkan komunitas tumbuh sejak tahun 1990-an.
Menurut Direktur Ruang Rupa, Ade Darmawan, semangat alternatif pada awal dan pertengahan 1990-an diperlihatkan komunitas Core-Komik, Apotik Komik, dan Taring Padi di Yogyakarta. Setelah Reformasi 1998 meruntuhkan rezim Orde Baru dan teknologi internet makin mendukung, anak-anak muda semakin bersemangat berekspresi secara berbeda. Tahun 2000-an muncul Ruang Rupa di Jakarta dan Common Room di Bandung yang giat membuat jaringan dan menjadi tempat nongkrong banyak komunitas alternatif.
Di Jakarta, misalnya, ada kelompok Marginal, Stenzila, Propagrafiti, Karma, Artcoholic, Tembok Bomber, Maros, Sakit Kuning Collectivo, dan Serrum. Di Yogyakarta hadir Ruang Mes 56, Daging Tumbuh, dan Kampung Halaman. Di Bandung, ada Button Culture 21, Ujung Berung Rebels, Ultimus, Balkot, PI (Punk Rock), dan Minor Bacaan Kecil.
”Awalnya, mereka berekspresi dalam musik, lalu meluas ke film, seni rupa, fashion, dan sastra pop,” kata Kimung, penggiat Ujungberung Rebels, yang menulis buku My Self Scumbag, berisi memoar penyanyi band Burgerkill, Ivan Firmansyah, yang meninggal tahun 2006.
Antikapitalisme
Mereka sama-sama membangun gagasan, menggunakan media, dan mempresentasikan seni rupanya di luar wacana yang mapan. Secara umum, gagasan mereka bersemangat antikapitalisme, anti-industri pabrikan, menolak politik arus utama, dan menyempal dari norma sosial umum. Pendek kata, inilah ekspresi perlawanan dan kebebasan kaum muda di kota-kota.
”Pasar kapitalisme memihak orang kaya dan menyingkirkan orang miskin sehingga memicu degradasi kemanusiaan. Kami melawan itu dengan membangun kehidupan mandiri,” kata Ucok ”Homicide” (34), perupa sekaligus vokalis dan penulis lagu untuk band Triggermortis.
Media yang digunakan bermacam-macam, mulai dari komik, grafiti, mural, zine, drawing, stiker, ilustrasi, video, fotografi, atau desain kaos. Mereka menghindari media umum yang mudah dikomersialkan, seperti lukisan atau patung. Karya-karya itu banyak disebarkan lewat fotokopi, cetak, sablon, atau lewat sarana di jalanan sehingga lebih lekat dengan karakter street art.
Komik dan mural jadi tumpuan ekspresi, sesuai dengan semangat ”Do it your self”. Contohnya, komik Athonk alias Sapto Rahardjo, komik Cha’oer, Daging Tumbuh, Marginal, dan Super Condom. Komik-komik itu diperbanyak secara stensilan dan diedarkan secara independen.
”Komik membuat saya bisa bergerak bebas,” kata Norvan, pembuat komik Super Condom sejak 1997 sampai sekarang.
Mural banyak digarap di atas tembok di jalan-jalan, seperti di bawah flayover, underpass, atau gardu listrik. Mereka biasa datang untuk ”ngebom” dinding dengan gambar-gambar mural pada malam hari. ”Kami merebut jalanan dari hegemoni iklan atau jargon birokrasi dan menjadikannya sebagai galeri seni publik,” kata Indra Ameng dan Reza Affisina, penggiat seni alternatif dari Ruang Rupa.
Karakteristik
Bagaimana karakteristik karya alternatif? Mereka mengandalkan strategi apropriasi, yaitu mencomot simbol, ikon, atau lambang visual yang populer, memainkannya, lalu membajaknya untuk menyuarakan ”perlawanan”. Meski karyanya beragam, mereka mengusung semangat sama: pluralisme, individualisme, independensi, dan feminisme.
Arian, vokalis band Seringai di Jakarta, misalnya, pernah mendesain gambar polisi sedang memegang pentungan di kaos bagian depan. Di bagian belakangnya ditulisi pertanyaan: ”Melindungi dan Melayani Siapa?” Kaos provokatif ini membuat sejumlah pemakainya ditangkap dan diinterogasi polisi di Bandung Tengah, akhir Agustus lalu.
“Pekan lalu, saya datang ke Polsek Bandung Tengah untuk dimintai keterangan. Saya tidak menghina institusi negara atau aparat, tetapi hanya mengajukan pertanyaan…,” kata Arian. (ilham khoiri)