sakitkuning PARTISIPAN ART PROJECT FESTIVAL TANDA KOTA
Tanda Kota
puluhanPameran seni rupa, diskusi, & workshop
Program Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta
14 November – 30 November 2007
Galeri Cipta II & III
Taman Ismail Marzuki, Jakarta
Tanda Kota adalah sebuah proyek pameran seni rupa yang membahas perkembangan visual kota Jakarta yang terbentuk karena usaha-usaha mandiri dari masyarakatnya dalam bertahan hidup. Papan reklame yang menempel di pohon atau tiang listrik, yang menjual jasa Badut Sulap, Penebang Pohon, Guru Datang ke Rumah, sejumlah jenis jasa yang tidak lazim ada di buku telepon, atau jutaan poster-poster lainnya yang terserak di jalanan, adalah salah satu diantaranya. Bentuk-bentuk visual itu secara diam-diam telah mengubah persepsi kita dalam memahami ruang kota. Sebuah Warteg di persimpangan jalan, kini bisa menjadi penanda bagi mereka yang tersesat. Perannya sebagai penanda, bagi sebagian orang, sejajar dengan sejumlah monumen dan gedung tinggi yang memang ingin dikenal sejak berdiri.
Bersamaan dengan adanya berbagai grafiti, poster iklan rokok, juga bendera partai—semua yang tidak memiliki ruang tempelnya, walau tidak berarti memaafkan lokasi dan proporsi billboard yang juga sering semena-mena—pada tanda-tanda kota seperti itu, tersisa jejak-jejak untuk ditelusuri lagi sejarahnya. Seperti sejumlah rumah makan yang bertahan tahun beserta interiornya yang tidak berubah, ada proses pengenalan-kembali, dari ingatan bersama, dari manis-pahitnya bertahan hidup di sebuah kota.
Adalah tugas seni rupa saat ini untuk mengkaji bentuk-bentuk visual kota. Termasuk meneruskan kembali apa yang pernah dipertanyakan Sanento Yuliman, kritikus seni rupa terbaik yang pernah dimiliki Indonesia: mengenai bentuk-bentuk visual baru, yang lepas dari kaidah fine art, yang belum sempat dipedulikan sebagai kenyataan oleh seni rupa modern, namun justru menyatu dalam kehidupan kita, dan menunggu untuk dikaji dan disikapi, demi ingatan yang terbentuk di masa depan akan sebuah kota.
Bersamaan dengan adanya berbagai grafiti, poster iklan rokok, juga bendera partai—semua yang tidak memiliki ruang tempelnya, walau tidak berarti memaafkan lokasi dan proporsi billboard yang juga sering semena-mena—pada tanda-tanda kota seperti itu, tersisa jejak-jejak untuk ditelusuri lagi sejarahnya. Seperti sejumlah rumah makan yang bertahan tahun beserta interiornya yang tidak berubah, ada proses pengenalan-kembali, dari ingatan bersama, dari manis-pahitnya bertahan hidup di sebuah kota.
Adalah tugas seni rupa saat ini untuk mengkaji bentuk-bentuk visual kota. Termasuk meneruskan kembali apa yang pernah dipertanyakan Sanento Yuliman, kritikus seni rupa terbaik yang pernah dimiliki Indonesia: mengenai bentuk-bentuk visual baru, yang lepas dari kaidah fine art, yang belum sempat dipedulikan sebagai kenyataan oleh seni rupa modern, namun justru menyatu dalam kehidupan kita, dan menunggu untuk dikaji dan disikapi, demi ingatan yang terbentuk di masa depan akan sebuah kota.
Iklan Ilegal
Di Jakarta, banyak terdapat bentuk-bentuk iklan ilegal, berupa sebilah papan dengan dasar cat putih dan berupa teks jasa dan nomor telepon, seperti Badut Sulap, Sedot WC, Penyalur Pembantu, Rental AC, Guru Ke Rumah, biasanya diikat ke tiang listrik atau pohon, atau hanya lembar kertas fotokopian yang ditempelkan di tembok-tembok.
Iklan-iklan seperti ini paling banyak merambah jalanan-jalanan kecil yang penuh dengan warga. Juga memuat jasa-jasa yang tidak lazim ditemui di buku telpon. Seiring dengan maraknya telepon genggam, sekarang nomor-nomor telepon rumah berganti dengan nomor telepon genggam—dan membuat mobilitas mereka semakin tinggi, bahkan mungkin untuk beberapa jasa tidak lagi memerlukan kantor.
Label: pameran
Posting Komentar
<