Thove Enggadtzi
untitle
sore itu, untuk kesekian kalinya
ribuan mesin berdarah daging berkerumun teratur
diatas debudebu jalan, menunggu hijau berabad lamanya
lampu merah adalah palang pintu yang siap memuntahkan
mesinmesin buas liar berlarian mengejar Jakarta
yang berlari, terus kedepan
dari pinggir trotoar kudengar kecemasankecemasan
yang dipahat dari teriakanteriakan cerobong asap
bisingnya memecahkan jam digital ditengah jalan
kemudian menggelepar karena kehilangan katakata
jakarta sore hari jadi gemuruh aspal
yang mengantarkan setiap kekasih pergi meninggalkan dirinya
rawa mangun, 2009
Di kwitang, setiap toko buku ditinggalkan pembacanya
sekali waktu sebuah kabar dari surat elektronik tiba
tentang kau yang menulis temantemanmu dari atap bahasa
dalam sebuah buku
siang ini, dikwitang aku mencarimu
diantara rakrak kayu yang reot
diselasela buku yang lusuh
disetiap bau arak murahan calocalo
-where are you Pelo?
aku tidak menemukanmu,
“enggadtzi….enggadtzi”
diluar toko sepertinya kau memanggilku pelan
aku bersikeras meyakinkan diri bahwa itu adalah suara yang sama
ketika kali pertama
kau menawarkan ku secangkir kopi
disebuah kantin taman budaya
kuedarkan pandanganku kesegala arah
tapi yang kulihat hanya lalulintas yang ruet dan bising
hanya parade kening yang didalamnya sirine terus berdenging
-yes man, I like the way you dance and sing!
telepon genggam ku berdering
sebuah pesan singkat kubuka
dering yang berbeda dengan suara tifa, manik hitam atau koteka
“kau telah menemukanku disetiap puisipuisi cinta yang kau benci
dan grafiti yang kau cemburui”
sebuah pesan tanpa nama, hanya angkaangka
serupa toko buku yang ditinggalkan pembacanya
pejaten, 2009
Potret ciliwung
suddenly we are drowning
among thousands of garbage
sebuah
tempat
sampah
terpanjang
m
e
n
g
a
l
i
r
abadi
dalam
aorta
Jakarta
yang
berlari
cilandak, 2009
Posting Komentar
<