Thove Enggadtzi's Merayakan perjalanan
gedunggedung pertunjukan berlarian dalam requim labirin
parade mulutmulut yang nganga mengantri dituangi sperma globalisasi
sesekali terjerembab denyardenyar musik industrial
kau sedang membaca peristiwa pagi itu
seperti hutan kertas yang melempar postmodern begitu saja dari corong sitok
atau mungkin terselip dihelaihelai halaman larung dan saman?
paragrap dari hujan, pernikahan pisau mendisplay kalung dari teman
juga perempuan yang menari diatas gunting.
sebuah pesan singkat melebur diatas bulan pada malam lebaran.
dikaret kita berlebaran, menyusu pada jarum waktu, kemudian singgah sejenak
melepas rindu pada leluhur.
"sudah sejak lama tanah kelahiran tak ada lagi dilaci meja kerjaku", kata mu
perahu kertas diladang jagung tak pernah berlayar lagi, padahal sauhnya tak lagi melilit didermaga. pada lentera merah yang kau bawa, cobalah sekali waktu kau dekatkan ke wajahmu, mungkin ada sisasisa noda liur anjing yang menjulurjulur dari halaman rumah tua yang tak lagi dijaga oleh lelaki paruh baya
berapa lembar dari buku harian negri ini yang disobek lantas diselipkan didalam botol
serupa pesan melankolis dari negri dongeng? jelaga, hanya warna hitam tinta pada sungai
yang mengalir dari hulu dukaku ke hilir kegembiraanmu. kursi goyang den sastro yang telah
reot merambat ditepi efrosina yang dihafal luar kepala oleh lelaki muda berambut sebahu.
pekiknya, ketika segalanya mengabut, kurapal sepotong puisi itu menjadi mantra.
lalu senja ditaman kota memunggungiku sambi tertawa kecil.
sebelum akhirnya maut menabungku segobangsegobang dengan hematnya,
kemudian meledak menjadi serpih, didalam keranjang sampah
tempat aku membacamu moksa
2009
Posting Komentar
<